Surat Cinta untuk Emak dan Bapak, dari Anakmu yang Kuliah di Perantauan
Anakmu punya banyak cerita yang tak bisa langsung disampaikan.
By: Camelia Aritonang
"Baik-baik disana, ya. Nanti kalau ada apa-apa, kabari saja. Jangan lupa makan, ibadahnya jangan ditinggalkan..."
Dan masih begitu banyak nasihat yang kalian ucapkan saat memberangkatkanku ke perantauan. Meninggalkan kalian yang aku cintai sepenuh hati. Aku mungkin tidak hapal mati semua kata-kata kalian, tapi yang jelas, aku selalu ingat untuk tidak hidup "lurus" selama di perantauan.
Emak, Bapak,
maafkan anakmu yang jarang mengabari. Bukan karena tidak ingin, kesibukan yang padat terkadang membuatku terlalu letih sekadar untuk menelepon dan menanyakan kabar kalian.
Emak, Bapak,
Tahukah, betapa sering aku merindukan kalian?
Sering di tengah malam aku menangis karena rindu. Menangis memikirkan kalian yang banting tulang untuk mengirimiku uang bulanan. Sungguh, perih rasanya mengingat wajah-wajah tua dan lelah kalian. Begitupun, setiap aku bertanya keadaan kalian, kalian selalu kompak menjawab, "sudah, jangan dipikirkan! Emak dan Bapak masih bisa makan disini. Kuliah saja baik-baik disana. Kalau ada yang kurang, bilang."
Ah, entah bagaimana caranya, kalian selalu mengatakan segalanya tercukupkan.
Emak, Bapak,
Jika aku tidak mengabari kalian, bukan berarti tidak sayang. Tidak. Sesungguhnya terkadang anakmu merasa beban hidup terlalu berat untuk ditanggung sendirian. Sering aku ingin mengeluh betapa tertekannya menjalani hidup di perantauan. Rendah diri melihat teman-teman yang berkecukupan, kebingungan ketika uang yang kalian kirim tak lagi cukup di akhir bulan, makan tak makan karena terlalu banyak buku yang harus dibayar... sungguh, anakmu ini sering ingin bercerita pada kalian.
Tapi aku sadar, bercerita seperti itu hanya membuat beban kalian bertambah. Layakkah aku mengeluh setelah semua perjuangan kalian untuk membuatku berada di sini? Maka setiap kali aku merasa sangat lelah, kuingat bahwa jauh lebih lelah kalian berusaha menguliahkanku. Aku hanya ingin kalian tahu bahwa disinipun, aku sedang berjuang dengan cara yang berbeda dari kalian.
Emak, Bapak,
Bukan tak pernah aku tergoda melakukan hal-hal yang dilarang. Jujur, pernah terlintas untuk mencoba hal-hal yang cepat mendatangkan uang. Namun syukurlah, setiap kali aku tergoda, bayangan wajah kalian mencegahku melakukannya. Nasihat-nasihat yang kalian berikan sejak masa kecilku menjadi pagar yang menjaga langkahku tetap lurus saat godaan memancingku mencoba berjalan ke arah yang salah.
Emak, Bapak,
Terimakasih untuk setiap nasihat yang dari dulu tak bosan kalian berikan. Kini setelah aku jauh, baru kurasakan betapa nasihat yang dulu terasa menjemukan itu ternyata sangat berarti bagiku di rantau orang.
Emak, bapak,
Tuhanlah yang tahu betapa aku sangat mencintai kalian. Setelah dewasa, jujur, terkadang gengsi rasanya mengucapakan ungkapan sayang itu dengan bahasa yang gamblang. Namun sejujurnya, setiap rindu ini meluap, ingin rasanya aku pulang ke rumah. Memeluk kalian hangat dan menyatakan betapa sayangnya aku pada kalian. Tapi aku lebih sering menyimpannya dengan doa. Inilah caraku mengasihi kalian.
Emak, Bapak,
Tetaplah berdoa untuk anakmu di perantauan. Setiap kali aku merasa beruntung, aku tersenyum dan berpikir bahwa itu terjadi juga berkat doa kalian. Tunggulah mak, pak, akan ada masanya kalian tersenyum bangga melihatku dalam balutan toga itu. Akan kutunjukkan bahwa tidaklah sia-sia perjuangan kalian. Akan kupersembahkan dengan sepenuh cinta untuk kalian yang mencintaiku dengan segenap jiwa.
Dari anakmu di perantauan.
Baper akutuh:(
ReplyDeletelebay luh....
ReplyDeleteSangat menyentuh...
ReplyDeleteHiya hiya hiya
ReplyDeleteSangat Menyayat Hati
ReplyDelete